Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri membantah pernah memberikan janji pemberian izin pengobatan ke Singapura kepada Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe. Lukas merupakan tersangka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait proyek infrastruktur di Provinsi Papua yang saat ini tengah ditangani KPK.
"Saya sudah sampaikan tidak pernah ada janji satu kata pun. Kita hanya melakukan penegakan hukum, menghormati hak asasi manusia, dan menjamin keselamatan yang bersangkutan serta menjaga Papua dalam keadaan aman, nyaman, damai," kata Firli di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (9/2).
Diungkapkan Firli, pertemuan yang dilakukan bersama tim penyidik KPK di kediaman Lukas Enembe berlangsung secara terbuka. Pada pertemuan tersebut, Lukas sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK namun belum dilakukan penahanan.
Adapun saat ini, Lukas tengah menjalani masa penahanannya di rutan KPK. Diketahui penyidik memperpanjang masa penahanan Lukas hingga 13 Maret 2023 mendatang.
"Kita bertemu di kediaman Lukas Enembe dalam keadaan terbuka. Kawan-kawan bisa melihat live streaming-nya, silakan dilihat kembali," ujar Firli.
Sebelumnya, tim pengacara mengatakan Lukas mengirimkan surat yang ditulis tangan sendiri olehnya. Surat tersebut ditujukan kepada Ketua KPK Firli Bahuri.
Dalam suratnya, Lukas menuliskan kondisi kesehatannya memburuk selama berada di tahanan. Ia pun meminta Firli memberangkatkan dirinya untuk berobat ke Singapura.
"Dengan hormat, Bapak Ketua yang saya hormati sesuai dengan komitmen dan janji Bapak bulan lalu untuk berobat di Singapore. Kondisi kesehatan saya semakin tidak baik selama di Rumah Tahanan KPK. Tolong Bapak mengerti kesehatan saya ini untuk segera (memberangkatkan) saya ke Singapore dalam minggu ini. Demikian lah hormat saya dalam permohonan surat ini untuk dimaklumi," demikian isi surat Lukas kepada Firli yang ditulis pada Minggu (29/1).
Selain Lukas, dalam perkara ini KPK juga menetapkan Rijatono Lakka selaku Direktur PT Tabi Bangun Papua (TBP) sebagai tersangka. Lukas diduga menerima suap senilai Rp1 miliar dari Rijatono Lakka. Dugaan suap itu dilakukan untuk mendapatkan tiga proyek pembangunan di Papua senilai Rp41 miliar.
Sedangkan temuan lain KPK menduga Lukas juga telah menerima gratifikasi yang terkait dengan jabatannya sebagai gubernur senilai Rp10 miliar.
Sebagai pemberi, Rijatono disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara Lukas, sebagai penerima disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 dan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.